Tradisi Mangngaro di Nosu: Kesakralan Budaya, Ziarah dan Kebersamaan

Foto: Kuriawan, Pemuda Nosu, Kader GMKI Cabang Makassar.

Sinarsore.com, Mamasa – Kecamatan Nosu yang berada di dataran tinggi Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, dikenal sebagai daerah terdingin dengan suhu yang biasa merosot hingga 7 derajat celsius, suasana khas pegunungan, menyimpan kekayaan hasil bumi yang melimpah, mulai dari aneka buah segar hingga tanaman hortikultura yang menjadi sumber penghidupan masyarakat.

Namun, yang membuat Nosu semakin istimewa bukan hanya alamnya, melainkan tradisi leluhur yang masih dijaga hingga kini. Salah satunya adalah Mangngaro, rangkaian upacara kematian atau rambu solo’ yang digelar setiap bulan agustus, atau yang oleh masyarakat setempat sebut sebagai Bulan Liang, sekali setahun setelah musim panen padi berakhir dan sebelum penanaman padi berikutnya dimulai. Tradisi ini telah mengakar dalam sistem kepercayaan lokal (aluk to matua) hingga saat ini.

Kurniawan putra asli Kecamatan Nosu yang juga kader GMKI Cabang Makassar menjelaskan bahwa masyarakat Noau menyebut bulan agustus sebagai Bulan Liang yang memiliki makna khusus bagi masyarakat Nosu, selain sarat nilai sejarah, bulan ini juga sebagai momen khusus dan sakral untuk berziarah ke liang lahat atau goa. Selasa, (26/08/2025).

Lebih lanjut, Kurniawan juga menekankan bahwa meskipun Mangngaro lahir dari leluhur penganut kepercayaan lokal, masyarakat Nosu tetap dapat menjalankannya tanpa bertentangan dengan keyakinan agama yang mereka anut saat ini, dan tetap memandang Mangngaro sebagai budaya khas yang harus dilestarikan.

“Masyarakat Nosu mengadaptasi tradisi ini dengan ajaran agama, tapi nilai kesakralannya tetap dijaga, inilah wujud harmoni antara iman dan budaya di Nosu,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa Mangngaro selalu digelar menjelang akhir Bulan Liang (Agustus) sekaligus menandai akhir periode ziarah kubur tahunan. Rangkaian tradisi ini diawali dengan mengeluarkan jasad leluhur dari liang lahat atau goa pada sore hari, lalu diarak menuju tempat yang sudah dipersiapkan.

“Jasad tersebut disemayamkan kemudian diiringi dengan berbagai prosesi dan ritual selama sehari penuh. Lalu keeseokan harinya usai seluruh prosesi dan ritual selesai, jasad tersebut di arak kembali ke tempat semula,” jelas Kurniawan.

Pelaksanaannya sendiri, jelas Kurniawan harus memenuhi aturan adat, mulai dari jumlah kerbau yang disembelih hingga warna kain dan busana tradisional yang digunakan. Detail tersebut memperlihatkan bahwa Mangngaro bukan sekadar ritual, tetapi warisan leluhur yang penuh makna kesakralan dan identitas.

“Tradisi ini menjadi ajang berkumpul bagi keluarga yang datang dari berbagai tempat. Melalui momen ini, terjalin interaksi dan kebersamaan yang mempererat hubungan kekeluargaan,” imbuhnya.

“Lebih dari itu, momen ini juga mempertemukan generasi yang masih hidup dengan leluhur yang tak pernah mereka jumpai semasa hidupnya,” ucap Kurniawan.

Kurniawan menegaskan, tradisi sakral ini telah dan mendapat pengakuan dan resmi tercatat di Pusat Data Nasional Kekayaan Intelektual Komunal (PDN KIK), sebagai bukti pentingnya Mangngaro bagi masyarakat Nosu, baik sebagai identitas maupun warisan leluhur yang bernilai tinggi.

“Di penghujung bulan ini akan ada sejumlah keluarga yang melaksanakan tradisi Mangngaro, mari datang ke Nosu dan saksikan langsung prosesi tradisi ini.” Ajak Kurniawan.

Exit mobile version